Kamis, 23 Oktober 2014

Berdiri

Sedari lama, abu-abu dengan biru seringkali serupa. Serupa langit dengan laut saat mendung. Bersaing memedar warna yang tiada diketahui dari mana, milik siapa. Maka abaikan serupanya, pilih saja yang tengah disuka.
Dia, sang ibu. Yang meneguh dalam sulit hingga senang. Yang mengerti bilamana rasa sudah berapi. Yang memaklumi bila waktu yang terbukti hanya saat ini. Dia, ibu. Ajari aku tentang berdiri. Haruslah tegap, yakin, berharga diri. Manakala tampak kembali kabut pengabur mata, biar saja. Biar kita tetap menjadi kita. Karena pada akhirnya, kita tetap tiada tahu apa-apa, kecuali menang.


Depok, 23.10.14
10.37 AM

Sabtu, 27 September 2014

Tanpa Judul

Dalam belajarnya, jiwa terkuat pun sanggup rela mengaduh. Ada spasi-spasi berserak bukan pada tempatnya. Dalam belajarnya, jiwa terkuat pun kehausan. Kehabisan daya untuk membaca. Kehilangan diksi untuk menyuara.

Sekali itu, karena tanya. Satu tanya yang terabaikan. Satu tanya sederhana yang tiada lagi dapat dijawab. Satu tanya yang pada biasanya hadir sebagai rupa yang wajar. Namun tetap saja, jiwa terkuat pun sanggup rela mengadu. Kali itu pada sedikit sanggup untuk mencerita. Pada pena, pada Sang Pencipta. Pada malam yang tetap bersahaja.

Bilamana spasi mengaku kelu. Menduduki jarak yang tanpa makna. Cukup bilang pada raga, pada rasa yang tengah dera. Bilang tentang kisah perjalanan, bilang tentang kendali yang boleh saja menyabang. Jangan lagi tanya-tanya.


Selasa, 25 Maret 2014

Duduk & Melagu

Masa pendek ketika duduk lalu melagu. Bukankah sederhana ini yang membuat rindu. Bukankah aroma waktu tengah menyengat dalam hangat, menjanjikan sekali lagi rasa hidup yang sempurna. 
Rekah bibir kala malam, kala siang. Sudah lebih dari sekedar bumbu manis juga rengkuh hangat untuk manusia. Maka waktu, cinta, cita, entah apa terjemahan yang pasti. Tapi waktu bersama rasa dan sukacita itu sudah berada. Di sini.
Bilapun waktu sudah terlalu tua, tapi ingatlah bahwa waktu tiada pernah kadaluarsa. Sedetik saja bercinta dengan kelam, tenggelam. Maka ini, di sini yang selalu berbahagia karena mengenang yang perlu. Lebih bahagia karena ingin hidup sekarang saja.
Bersama kenang yang sungguh rupawan. Menghirup udara yang akan segera terhembus. Lalu dan kini menjadi bagian pasti, yang menjadi guru paling setia dan tiada pernah pilih kasih.
Kemudian detik ini, tengah menjadi sejarah baru yang harus bahagia. Karena belajar, bahagia selalu menjadi jawaban. Dan jawaban ini, semewah waktu pendek namun banyak untuk duduk dan melagu.

Selasa, 28 Januari 2014

Puisi Matahari 2

Aku menyambut pagi dengan suara, dengan cahaya. Mungkin pagi yang menyambut lebih dulu. Membukakan mata untuk tersadar mengenai waktu yang baru dimulai. Bisa-bisanya matahari berangkat sendiri. Semenjak dia tiada bisa mengintai lagi. Lalu sadar bermakna lebih dalam. Bila matahari lah yang selalu menang. Bila matahari yang selalu memperjelas tentang ada. Aku mau jadi matahari saja.


Depok
28 Jan 2014 09:22