Kamis, 12 Juli 2012

Kota Bernama Jakarta


Tercengang. Bukan isapan kisah masa kecil, bukan pula sepenggal impian manusia mana saja. Menolehkan senti demi senti wajah yang sesungguhnya ingin tetap meratap. Berpaling, menjauh seakan mencipta jarak dengan sebuah dosa, sambil mengetahui kelabu atas hati sendiri.  

Tergelatak. Terisak. Tertawa. Bernyanyi. Marah. Membentak. Terpaksa. Terlantar. Sebatang kara. Menangis. Kelaparan..

Entah malam apa yang membisik dalam-dalam, menusuk, menyentak hingga memori seakan penuh ingin tumpah. Bahkan tanpa tangkapan kamera, tersketsa kulit-kulit kusam berlumurkan keringat, bahkan tanah ibu kota. Menangis. Tertawa bohongan. Berani yang terpaksa, terjepit oleh nasib dan nasib lain. Tuhan, Kau kah ada di dada mereka?
Menganyam kehidupan dari sebuah botol, rebana, malu, lapar. Belia usia, persis ketika aku bermain riang di taman-taman, sama tua denganku kala buah-buahan yang kugilai tersaji tanpa kuminta. Tuhan, mampukah terik panas dunia rapuh menghidupinya? Perihal kekuatan yang terenyam sadis, memaksa masuk sedalamnya ke dalam sisa-sisa ketakutan akan mati. Aku harus hidup, gumamnya tiap kali perut berbunyi. Malam, siang, kapanpun. 

Sendirian. Merangkul keculasan yang telah menjadi bagiannya. Bermain kartu sepandainya tanpa diajari, agar beruntung, sampai setidaknya masih ada jaminan: besok aku akan bernapas, setidaknya satu hari lagi.

Hingga matahari dan matahari lagi. Begitu lagi seterusnya, tak bosannya. Mereka beranjak, bersabar atas pertanyaan: apakah hidup ini? Sambil tetap takut pada mati, bernyayi untuk dibayar serupiah demi serupiah. Berdagang surat kabar yang tak laku. Entah apa, entah bagaimana ceritanya nyawa baru menumpang lagi pada satu lagi, ribuan, tak terhitung raga.

Lalu takdir mengisahkan cerita demi cerita, yang tak tahu bagaimana ada saja kesialan besar. Jagaan apa yang dipunyai? Selembar baju, celana? Lalu sudah?

Malam, siang, malam, siang. Katanya, kapan malam dan siang itu tak ada. Supaya lupa, supaya henti payah dan jerih hanya untuk satu lagi tarikan udara kehidupannya. 

Lalu, Tuhan, aku harus bagaimana?
Untuk kota yang paling kucintai apa adanya
8 Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar